Selain itu, langkah The Federal Reserve (The Fed) yang menaikkan suku bunganya secara lebih agresif turut menambah tantangan bagi berbagai negara termasuk negara berkembang seperti Indonesia.
Sri Mulyani mengibaratkan langkah The Fed dalam menaikkan suku bunga secara agresif seperti orang menggunakan antibiotik dengan dosis tinggi untuk mengobati suatu penyakit dalam tubuh.
“Ini sudah menggunakan instrumen kebijakan yang sangat powerfull. Nanti siapa yang kena terlebih dahulu dari antibiotiknya? Apa kah penyakitnya yaitu inflasi? Atau growth-nya atau excess-nya,” kata Sri Mulyani.
Menurutnya, apabila badan atau fondasi pemulihan Amerika Serikat belum kuat maka langkah The Fed yang awalnya ditujukan untuk menekan laju inflasi justru membuat pertumbuhan ekonominya tertahan.
“Bisa saja badannya tidak kuat, yang mau dihajar inflasi yang kena growth-nya duluan. We never know apa yang akan terjadi tergantung data ke depan. Tapi apapun itu harus kita antisipasi. The same thing di Eropa,” jelasnya.
Sri Mulyani mengingatkan bahwa tidak akan ada yang pernah tahu situasi yang akan terjadi ke depan sehingga saat ini data menjadi aspek penting dalam melihat potensi di masa depan dan mengantisipasi spillover effect dari kebijakan negara maju.(irw)